SUARA pemuda di tengah pandemi dan isu nasional yang memanas, utamanyaa perihal RUU HIP memang tidak begitu lantang terdengar. Sekalipun respon secara langsung sudah pasti berjalan melalui diskusi dan koordinasi mengenai apa pun yang terjadi di negeri ini. Akan tetapi, di dunia digital seperti ini, eksis kerapkali kalau “sering” muncul di media.
Dalam tataran tertentu tepat, namun tidak
berarti seluruh elemen muda bangsa harus seluruhnya tumpah ruah di ruang publik
yang kini sangat cepat berubah. Pemuda Hidayatullah satu di antaranya yang memiliki
jati diri tersendiri, dimana gerakan sejatinya bukanlah pada ranah yang bukan
menjadi core atau DNA-nya, melainkan pada apa yang menjadi spirit pendiri itu
sendiri, yakni bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.
Gerakan semacam ini cenderung tidak populer,
namun sejarah mencatat, dakwah dan pendidikan adalah biang perubahan besar yang
mengagumkan. Lihat bagaimana Nabi ﷺ menempa para sahabat muda, lantas mengirim mereka sebagai delegasi
dakwah dan pendidikan.
Mush’ab bin Umair misalnya, sebagai juru
dakwah dan pendidikan ia mampu menyiapkan anak-anak muda Madinah dekat dengan
Al-Qur’an, sehingga kala Nabi ﷺ tiba dalam perjalanan hijrah, tidak sedikit anak-anak Madinah yang
telah hafal banyak ayat di dalam Al-Qur’an.
Peran Mush’ab ini nantinya memudahkan
transformasi ilmu dan budaya Islam di dalam kehidupan masyarakat Muslim di
Madinah. Lebih dari itu, kesigapan gerak di segala bidang dapat dengan mudah
diwujudkan. Jadi, ini poin penting bahwa pergerakan paling inti dalam membangun
masyarakat yang cerdas dan religius adalah dakwah dan pendidikan.
Oleh karena itu, Pemuda Hidayatullah harus
benar-benar konsentrasi pada amanah gerakan dakwah dan pendidikan tersebut.
Sembari terus mengupgrade kemampuan diri untuk memberikan respon yang cerdas
dan memadai dalam segala perubahan yang terjadi, terutama pergiliran isu yang
beredar di media massa maupun media sosial.
Memahami “Kerja” Media
Jika ditarik garis persamaan, maka ruang
publik yang erat kaitannya dengan dunia pendidikan adalah media. Media inilah
yang membentuk diskusi-diskusi orang, mulai di warung kopi sampai ruang
menteri, dari meja makan hinga grup whatsapp. Diakui atau tidak orang akan
“terseret” pada tema-tema yang disuguhkan oleh media.
Fakta ini menunjukkan bahwa kaum muda milenial
ini harus memahami bagaimana media “bekerja.” Pada sisi yang memang penting
direspon kita berikan respon.
Namun, jangan dengan sekedar lalu, respon
secara serius, entah melalui diskusi yang mendalam hingga menuliskan sebuah
artikel yang dikirim ke media massa baik online maupun cetak, sehingga ada
peningkatan kecerdasan dalam sisi bagaimana menanggapi, menyanggah, atau bahkan
membantah sebuah pemikiran dalam isu yang menggelinding.
Pada saat yang sama, dasar dari respon itu
sendiri harus dilandasi oleh cara pandang kita sebagai Muslim, sehingga yang
terjadi bukan sekedar adu data dan argumentasi, tetapi juga ada dimensi
pencerahan. Maknanya di sini, kalau memang tidak mampu serius merespon, lebih
baik konsentrasi pada apa yang menjadi amanah dan tanggungjawab. Tetapi jika
mampu, berikan respon terbaik, karena spirit hidup kita sebagai hamba Allah
adalah bagaimana melakukan yang terbaik.
Media massa selain memiliki kepentingan sudah
pasti akan “memainkan”isu-isu yang menurut mereka menarik sehingga potensial
dibaca publik. Namun jangan lupa, semakin seorang pemuda kerap merujuk media
dan tidak memiliki basis bernalar kritis yang memadai, cara berpikir kita cepat
atau lambat disadari atau tidak cenderung akan tersetting sebagaimana kehendak
pemilik media.
Jika demikian, berinteraksi dengan media
sebenarnya membutuhkan nalar kritis daripada sikap oh, begitu, oh, begini.
Karena dalam banyak hal, kerapkali apa yang besar di media tidak benar-benar
hidup di tengah masyarakat.
Dalam kata lain, masyarakat tidak butuh
bahasan-bahasan media yang ada. Masyarakat sederhana butuh harga BBM murah,
listrik murah, dan sembako murah, kesehatan murah dan pendidikan yang murah,
selesai. Tetapi apakah ada media mengulas ini dengan sungguh-sungguh?
Cerdas Literasi
Lantas langkah apa yang bisa dilakukan oleh
kaum muda? Sekarang era digital, semua bisa menjadi wartawan, semua bisa jadi
pembuat berita, maka jadikan kesempatan luas digital ini sebagai sarana
mengajak masyarakat mengetahui apa yang kaum muda lakukan di berbagai daerah di
Tanah Air.
Pekan lalu saya berdialog secara online dengan
seorang dai muda Hidayatullah di Langkat Sumatera Utara yang berhasil membangun
masjid (kini masuk tahap membuat teras) murni dari status media sosial.
Artinya, betapa dahsyat akun Facebook,
Twitter, dan lainnya jika digunakan untuk menguatkan gerakan dakwah dan
pendidikan di tempat kita berkiprah di tengah-tengah masyarakat, yang memang
penduduknya butuh anaknya bisa mengaji dan mereka sangat butuh masjid untuk
bisa beribadah.
Saat yang sama ada juga dai muda Hidayatullah
di Maluku Utara yang nyaris setiap saat memposting keadaan, kegiatan, dan
keberadaan masyarakat suku terasing di Halmahera. Faktanya masyarakat merespon.
Ini yang saya sebut sebagai sebuah kecerdasan yang harus dihadirkan di era
digital. Lebih jauh bagaimana menghadirkan kecerdasan literasi.
Jadi, kita hadirkan konten yang edukatif,
objektif, cerdas, dan sekaligus mengajak masyarakat mendukung program dakwah
dan pendidikan, sehingga kita secara langsung atau pun tidak membantu
pemerintah menghadirkan konten yang positif, dibutuhkan, dan lebih jauh
mendorong terwujudnya semangat gotong-royong.
Kolaborasi
Langkah terakhir, bagaimana kolaborasi
diciptakan. Dua dai muda Hidayatullah telah berhasil menjadikan media sosial
sebagai wadah masyarakat bergotong royong menguatkan program dakwah dan
pendidikan. Tetapi itu masih parsial, sekaligus sangat baik sebagai pemantik.
Perlu wadah besar yang satu sama lain saling mendukung. Pemuda Hidayatullah
telah menyediakan ruang itu bernama www.pemuda.org
Sekarang sedang gencar dikampanyekan program
Wakaf Qur’an untuk masyarakat dan masjid di pedalaman Kaimana Papua Barat,
berikut dengan program qurban dan lanjutannya. Wadah ini tidak besar untuk saat
ini. Tetapi kalau kaum muda seluruh Indonesia menggerakkan dengan jempol mereka
melalui status media sosial, sudah bisa kita tebak, betapa gerakan ini akan
sangat luar biasa.
Namun, menuju ke sana bukan butuh intruksi, melainkan kesadaran dan kecerdasan. Ketika kedua hal ini dimiliki, maka insya Allah gerakan kaum muda Hidayatullah di era ditigal ini akan sangat signifikan. Mungkin tidak di headline media massa, tapi di hati masyarakat dan umat. Dan, kelak cepat atau lambat, hal ini akan sangat berguna untuk bisa membantu pemerintah dan negara mewujdukan program pendidikan dan dakwah di seluruh Indonesia. Allahu a’lam.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah